Nabi Nuh termasuk di antara nabi-nabi yang tergolong ulul-’azmi yaitu para nabi dan rosul yang memiliki ‘azam yaitu keteguhan hati dan kesabaran dalam berda’wah, sehingga kita wajib untuk meneladani mere-ka dalam perjuangan menegakkan dan membela kalimat tauhid, sebagai- mana firman Alloh ta’ala :
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ
“Bersabarlah kalian, sebagaimana telah bersabar para ulul-’azmi dari kala ngan para rosul.” ( Qs. Al-Ahqof : 35 )
Para nabi dan rosul yang tergolong ulul-’azmi yaitu Nabi Nuh , Nabi Ibrohim , Nabi Musa , Nabi ‘Isa dan Nabi Muhammad seba gaimana firman Alloh ta’ala :
وَ إِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَ مِنْكَ وَم ِنْ نُوحٍ وَ إِبْرَاهِيمَ وَ مُوسَى وَ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَ أَخَذْنَا مِنْهُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
“Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi, darimu, juga dari Nuh, Ibrohim, Musa dan ‘Isa bin Maryam, dan Kami telah meng ambil dari mereka perjanjian yang teguh.” ( Qs. Al-Ahzab : 7 )
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَ مَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَ مُوسَى وَ عِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَ لا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
“Dia telah mensyari’atkan kepada kalian berupa agama yang juga telah di wasiatkan kepada Nuh, yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan juga telah Kami wasiatkan kepada Ibrohim, Musa dan ‘Isa, yaitu tegakkanlah agama dan jangan kalian bercerai-berai di dalamnya.” ( Qs. Asy-Syuro : 13 )
Sehingga sangat perlu bagi kita untuk melihat bagaimana keteguhan dan kesabaran Nabi Nuh dalam perjuangannya menda’wahkan tauhid.
Sesungguhnya sebelum Nuh mengintensifkan kegiatan da’wah nya, Alloh ta’ala telah memberitahukan tentang apa yang akan terjadi da-lam firman-Nya :
وَ أُوحِيَ إِلَى نُوحٍ أَنَّهُ لَنْ يُؤْمِنَ مِنْ قَوْمِكَ إِلاَّ مَنْ قَدْ آَمَنَ فَلاَ تَبْتَئِسْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
“Dan telah diwahyukan kepada Nuh bahwasannya tidak akan ada yang beriman di antara kaumnya kecuali orang-orang yang telah beriman ( dari sebelumnya ) maka janganlah kamu putus asa karena apa yang mereka la kukan.” ( Qs. Hud : 36 )
Dari ayat ini, kita mengetahui bagaimana usaha keras dan keikhlasan Na-bi Nuh dalam berda’wah, meskipun dia tahu melalui wahyu bahwa ti-dak mungkin ada lagi orang yang akan menerima da’wahnya selain orang orang yang telah mengikutinya sebelum itu, Nabi Nuh tetap sema-ngat dalam memenuhi amanat da’wah, yaitu mengajak manusia ke jalan tauhid. Bahkan Nabi Nuh dengan telaten menghabiskan waktu 950 ta hun berda’wah meski tanpa ada tambahan seorang pun yang mau mengi- kutinya, sebagaimana firman Alloh ta’ala :
وَ لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلاَّ خَمْسِينَ عَامًا
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, kemu-dian dia tinggal di antara mereka selama 950 tahun …” ( Qs. Al-’Ankabut : 14 )
Demikianlah mestinya seorang juru da’wah, di dalam da’wahnya semata-mata menyampaikan kebenaran dengan ikhlas lillahi ta’ala, bukan karena mengejar target jumlah pengikut. Seandainya keberhasilan da’wah diukur dari jumlah orang yang mengikuti, maka Nabi Nuh termasuk di anta-ra orang yang gagal dalam da’wahnya. Namun dalam keadaan keminiman jumlah pengikut, Alloh ta’ala menyebut Nuh sebagai :
إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا
“Sesungguhnya dia ( Nuh ) adalah hamba yang pandai bersyukur.”
( Qs. Al-Isro’ : 3 )
Meskipun Nuh telah menghabiskan 950 tahun untuk berda’wah tanpa memperoleh tambahan pengikut, dia tetap dianggap sebagai hamba yang pandai mensyukuri nikmat, dan ” waktu ” termasuk dalam kategori nik-mat Alloh, sebagaimana sabda Rosululloh :
النِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَ الْفَرَاغُ
“Ada dua kenikmatan yang dilalaikan oleh kebanyakan manusia, yaitu : sehat dan waktu luang.” ( HR. Ahmad Al-Bukhori, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah )
Dan Nabi Nuh dalam da’wahnya itu tidak pernah memungut harta ben da atau upah dari para pengikutnya, da’wahnya semata-mata mengharap-kan pahala dari Alloh ta’ala, sebagaimana firman Alloh ta’ala :
وَ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah aku meminta kepada kalian upah atas da’wahku, upahku ha nya dari Tuhan semesta alam.” ( Asy-Syu’aro’ : 109 )
Selama 950 tahun tersebut Nabi Nuh mengajak manusia kepa-da ajaran tauhid, sebagaimana firman Alloh ta’ala :
وَ لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلاَ تَتَّقُونَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, kemu-dian dia berkata : “Wahai kaumku, sembahlah Alloh, tidak ada sesemba-han yang berhak disembah oleh kalian selain Dia, maka kenapa kalian ti-dak bertaqwa ?!” ( Qs. Al-Mu’minun : 23 )
Ini merupakan kesepakatan da’wah para nabi dan rosul, yaitu memulai da’ wah dengan tauhid, menjadikan inti sari da’wahnya adalah tauhid, dan me ngakhiri da’wahnya dengan seruan tauhid pula.
Dalam menda’wahkan ajaran tauhid, Nabi Nuh telah menem-puh berbagai metode, dan kesemuanya tidak membuahkan hasil sama se- kali meskipun hanya seorang saja yangmenjawab seruan da’wahnya, seba gaimana firman Alloh ta’ala :
قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلاً وَنَهَارًا فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلاَّ فِرَارًا وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي آَذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا ثُمَّ إِنِّي دَعَوْتُهُمْ جِهَارًا ثُمَّ إِنِّي أَعْلَنْتُ لَهُمْ وَأَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا
“Nuh berkata : “Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah menda’wahi kaumku malam dan siang, namun seruan da’wahku hanya menambah me-reka lari. Sesungguhnya setiap aku mengajak mereka agar Engkau me-ngampuni mereka, mereka malah menutupkan jari-jemarinya ke telinga-nya, menutupkan baju-bajunya, tetap bersikeras menentang, dan mereka benar-benar menyombongkan diri. Kemudian aku seru mereka dengan ca ra terang-terangan, lalu aku seru mereka dengan cara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi …” ( Qs. Nuh : 5 – 9 )
Perhatikanlah, bagaimana Nabi Nuh tanpa lelah pada waktu siang dan malam terus berda’wah, dan berbagai metode da’wah pun telah dilaku kan, baik dengan sirriyyah ( sembunyi-sembunyi ), jahriyyah ( terang-te-rangan ) maupun dengan mengkombinasikan kedua cara tersebut, namun tetap saja tidak mampu menjadikan kaumnya mengikutinya. Begitulah ke uletan Nabi Nuh dalam berda’wah yang patut untuk diteladani.
Ada pun da’wah sirriyyah ( sembunyi-sembunyi ) di dalam Islam telah dihapus dengan turunnya Qs. Al-Hijr : 94 dan Qs. Asy-Syu’aro’ : 214. Kecuali bila berada di suatu negeri yang melarang da’wah Islam atau melarang orang beragama, maka da’wah sirriyyah dibolehkan dilakukan.
Arsip Blog
Sabtu, 30 Januari 2010
Minggu, 24 Januari 2010
Sejarah Indonesia....... era soekarno
Tahun 2001 yang lalu, Presiden Abdurahman Wahid membuat pernyataan kontraversi. Sekalipun Antara sudah menariknya kembali berita tersebut, tapi pernyataan Gus Dur yang akan membubarkan DPR hasil Pemilu 1999 mendapat reaksi keras dari berbagai pihak. Bahkan telah ditentang oleh dua orang pembantu dekatnya: Menkeh/HAM Yusril Ihra Mahendra dan penasehat urusan hukum Presiden, Prof Harun Alrasid. Saat ini tidak ada alasan bagi Presiden mengeluarkan dekrit dan membubarkan DPR. Keduanya mengingatkan kalau hal tersebut dilakukan, bukan saja merupakan tindakan inkonstitusional, tapi juga bisa dituduh melakukan kudeta.
Berlainan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Ketika itu negara dinyatakan dalam keadaan bahaya (SOB). SOB mulai diberlakukan sejak 1956 dan baru dicabut kembali Mei 1963.
Bung Karno dalam dekritnya kembali ke UUD 45 sekaligus telah membubarkan konstituante (MPR) hasil Pemilu 1955. Dengan alasan lembaga tertinggi negara ini telah menolak usulnya untuk memberlakukan kembali UUD 45. Anjurannya ini disampaikan 25 April 1959. Dekrit Presiden ini telah mendapat dukungan pihak militer. Yang sejak Oktober 1952 memang telah mendesaknya untuk memberlakukan kembali UUD 45. Pihak militer dibawah pimpinan KSAD Jenderal Nasution sendiri yang memimpin demo ke Istana ketika itu.
Hanya 5 hari setelah dekrit 5 Juli 1959, Bung Karno telah membentuk kabinet kerja pertama. Ia kemudian membentuk DPA dengan Bung Karno sendiri sebagai ketua. Kemudian dibentuknya Front Nasional.
Sekalipun Parlemen (DPR) hasil Pemilu 1955 pada 22 Juli telah menyatakan kesediannya untuk bekerja terus dibawah UUD 45, tapi 5 Maret 1960 Bung Karno membubarkannya. Dengan alasan DPR tidak mau mendukung Demokrasi Terpimpin, sementara RAPBN 1961 tidak mendapat dukungan dari wakil-wakil rakyat ini. Ia pun membentuk DPR-GR (Gotong Royong) pada 27 Maret 1960.
Dengan istilah ‘meretul’ DPR, sasaran utamanya DPR-GR adalah membuat ‘wakil-wakil rakyat’ ini sekedar sebagai ‘pembantu’ Presiden. Kemudian mengakhiri eksistensi partai-partai politik yang oposional, serta mengikat semua parpol dalam Front Nasional. (Dr AH Nasution: ”Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5 : Kenangan Masa Orla.”).
Kalau Dekrit 5 Juli 1959 mendapat dukungan Menteri Keamanan Nasional/KSAD Jenderal Nasution, tidak demikian saat pembubaran DPR hasil Pemilu 1955. ”Saya tidak ikut dalam penggarapan DPR ini. Tapi mendadak saya terkejut ketika menerima rencana susunan DPR yang oleh Presiden dijadikan DPR-GR,” Nasution dalam bukunya itu.
Presiden mengambil kebijaksanaan untuk menyerahkan retooling DPR itu dengan ketiga pimpinan partai Nasakom. Untuk itu diundang ke Istana Tampaksiring (Bali) Ali Sastroamidjojo (PNI), Idham Chalid (NU), DN Aidit (PKI), dan Nasution (ABRI). Akan tetapi, Pak Nas telah menugaskan Kolonel Wiluyo Puspojudho ke Tampaksiring. ”Padanya saya instruksikan untuk mengomandir Nasakom dengan Polkar (Politik Karya). Rupanya Bung Karno dan parpol-parpol merasa tidak enak dengan usul saya ini. Hingga dalam pidato-pidatonya Bung Karno menyerang gagasan Polkar untuk mengganti Nasakom,” demikian Pak Nas. Pertentangan antara Bung Karno dan Pak Nas ini berlangsung terus hingga pecahnya pemberontakan G30S/PKI. Pak Nas sendiri luput dari pembunuhan pada kudeta tersebut.
Partai-partai Islam menjadi korban pertama pembubaran DPR. Kalau dalam DPR hasil pemilu 1955 perbandingan Nasionalis, Islam dan Komunis 65 - 115 - 52 anggota, maka dalam DPR-GR menjadi 44 - 33 - 30 anggota. Ditambah dengan wakil-wakil Golkar dari parpol-parpol yang bersangkutan, perbandingannya menjadi 94 - 67 - 81 anggota. Seperti pengangkatan anggota DPA, Bung Karno dalam membentuk DPR-GR tidak menyertakan partai-partai oposisi. Menurutnya, dalam demokrasi terpimpin tidak dikenal adanya oposisi, tapi gotong royong.
Dalam situasi itu timbullah reaksi KH Bisri Samsuri dari NU — yang memegang teguh sikap non kompromis terhadap kebatilan, kezaliman dan kemusrikan–. Kiai sepuh dari NU ini menuding pembentukan DPR-GR itu melanggar hukum dan konstitusi. Karena itu beliau mengganggap masuknya kedalam DPR-GR adalah ‘munkar’. Tapi ia toleran terhadap mereka yang berpandangan bahwa masuknya NU ke DPR-GR berdasarkan ‘amar ma’ruf.’ KH Bisri sekali lagi menunjukkan sikap konsekwen ketika dalam SU MPR 1978, ia dan para pengikutnya dari NU yang tergabung dalam PPP melakukan WO ketika MPR akan mengesahkan ‘aliran kepercayaan.’
Reaksi menolak pembubaran DPR dan pembentukan DPR-GR telah datang dari tokoh-tokoh lain seperti ucapan Ketua DPR Sartono (PNI) dalam sidang terakhir DPR 17 Maret 1960. Ia menolak duduk dalam DPR-GR. Sulit baginya menjadi wakil rakyat yang diangkat. Tokoh PNI lainnya yang menolak adalah Mr Iskaq. Sedangkan yang menolak dari NU terdapat pula Yusuf Hasyim, KH Imron Rosyadi dan KH M Dachlan.
Beberapa hari setelah pembubaran DPR hasil Pemilu 1955, lahir Liga Demokrasi sebagai gerakan oposisi. Anggotanya terdiri dari tokoh Partai Katolik, IPKI, dan juga dari NU, PSII dan Parkindo. Pada 20 Maret 1960, Liga membuat pernyataan bahwa pembentukan DPR-GR bertentangan dengan azas-azas demokrasi yang dijamin oleh UU.
Nasution dalam bukunya mengatakan, memang atas prakarsanya sendiri ia terpaksa menentang kebijakan Presiden. ”Dengan ini memproseslah konflik terbuka antara beliau dengan saya.” Ketika membentuk DPR-GR, Bung Karno mengangkat para wakil ketuanya orang-orang kedua dalam pimpinan parpol. Mereka statusnya disamakan dengan menteri. Bung Karno juga menambah kekuasaannya (trias politika) dengan menjadikan Ketua Mahkamah Agung sebagai menteri, dan MA menjadi lembaga yang berada dibawah kontrol politiknya.
Perlawanan terhadap dibubarkannya DPR hasil Pemilu waktu itu memang cukup sengit. Pada 22 Juni 1960, Bung Tomo mengadakan pengaduan kepada Mahkamah Agung dengan tuduhan pembubaran DPR hasil Pemilu ‘55 sebagai pelanggaran terhadap UUD 45. Pada 17 Agustus 1960, dua partai yang menjadi kekuatan oposisi, Masyumi dan PSI dibubarkan. Tapi konflik politik hampir tidak pernah henti. Berakhir dengan tragis, terjadinya Gerakan 30 September 1965. (Alwi Shahab/)

Bung Karno dalam dekritnya kembali ke UUD 45 sekaligus telah membubarkan konstituante (MPR) hasil Pemilu 1955. Dengan alasan lembaga tertinggi negara ini telah menolak usulnya untuk memberlakukan kembali UUD 45. Anjurannya ini disampaikan 25 April 1959. Dekrit Presiden ini telah mendapat dukungan pihak militer. Yang sejak Oktober 1952 memang telah mendesaknya untuk memberlakukan kembali UUD 45. Pihak militer dibawah pimpinan KSAD Jenderal Nasution sendiri yang memimpin demo ke Istana ketika itu.
Hanya 5 hari setelah dekrit 5 Juli 1959, Bung Karno telah membentuk kabinet kerja pertama. Ia kemudian membentuk DPA dengan Bung Karno sendiri sebagai ketua. Kemudian dibentuknya Front Nasional.
Sekalipun Parlemen (DPR) hasil Pemilu 1955 pada 22 Juli telah menyatakan kesediannya untuk bekerja terus dibawah UUD 45, tapi 5 Maret 1960 Bung Karno membubarkannya. Dengan alasan DPR tidak mau mendukung Demokrasi Terpimpin, sementara RAPBN 1961 tidak mendapat dukungan dari wakil-wakil rakyat ini. Ia pun membentuk DPR-GR (Gotong Royong) pada 27 Maret 1960.
Dengan istilah ‘meretul’ DPR, sasaran utamanya DPR-GR adalah membuat ‘wakil-wakil rakyat’ ini sekedar sebagai ‘pembantu’ Presiden. Kemudian mengakhiri eksistensi partai-partai politik yang oposional, serta mengikat semua parpol dalam Front Nasional. (Dr AH Nasution: ”Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5 : Kenangan Masa Orla.”).

Presiden mengambil kebijaksanaan untuk menyerahkan retooling DPR itu dengan ketiga pimpinan partai Nasakom. Untuk itu diundang ke Istana Tampaksiring (Bali) Ali Sastroamidjojo (PNI), Idham Chalid (NU), DN Aidit (PKI), dan Nasution (ABRI). Akan tetapi, Pak Nas telah menugaskan Kolonel Wiluyo Puspojudho ke Tampaksiring. ”Padanya saya instruksikan untuk mengomandir Nasakom dengan Polkar (Politik Karya). Rupanya Bung Karno dan parpol-parpol merasa tidak enak dengan usul saya ini. Hingga dalam pidato-pidatonya Bung Karno menyerang gagasan Polkar untuk mengganti Nasakom,” demikian Pak Nas. Pertentangan antara Bung Karno dan Pak Nas ini berlangsung terus hingga pecahnya pemberontakan G30S/PKI. Pak Nas sendiri luput dari pembunuhan pada kudeta tersebut.
Partai-partai Islam menjadi korban pertama pembubaran DPR. Kalau dalam DPR hasil pemilu 1955 perbandingan Nasionalis, Islam dan Komunis 65 - 115 - 52 anggota, maka dalam DPR-GR menjadi 44 - 33 - 30 anggota. Ditambah dengan wakil-wakil Golkar dari parpol-parpol yang bersangkutan, perbandingannya menjadi 94 - 67 - 81 anggota. Seperti pengangkatan anggota DPA, Bung Karno dalam membentuk DPR-GR tidak menyertakan partai-partai oposisi. Menurutnya, dalam demokrasi terpimpin tidak dikenal adanya oposisi, tapi gotong royong.
Dalam situasi itu timbullah reaksi KH Bisri Samsuri dari NU — yang memegang teguh sikap non kompromis terhadap kebatilan, kezaliman dan kemusrikan–. Kiai sepuh dari NU ini menuding pembentukan DPR-GR itu melanggar hukum dan konstitusi. Karena itu beliau mengganggap masuknya kedalam DPR-GR adalah ‘munkar’. Tapi ia toleran terhadap mereka yang berpandangan bahwa masuknya NU ke DPR-GR berdasarkan ‘amar ma’ruf.’ KH Bisri sekali lagi menunjukkan sikap konsekwen ketika dalam SU MPR 1978, ia dan para pengikutnya dari NU yang tergabung dalam PPP melakukan WO ketika MPR akan mengesahkan ‘aliran kepercayaan.’
Reaksi menolak pembubaran DPR dan pembentukan DPR-GR telah datang dari tokoh-tokoh lain seperti ucapan Ketua DPR Sartono (PNI) dalam sidang terakhir DPR 17 Maret 1960. Ia menolak duduk dalam DPR-GR. Sulit baginya menjadi wakil rakyat yang diangkat. Tokoh PNI lainnya yang menolak adalah Mr Iskaq. Sedangkan yang menolak dari NU terdapat pula Yusuf Hasyim, KH Imron Rosyadi dan KH M Dachlan.
Beberapa hari setelah pembubaran DPR hasil Pemilu 1955, lahir Liga Demokrasi sebagai gerakan oposisi. Anggotanya terdiri dari tokoh Partai Katolik, IPKI, dan juga dari NU, PSII dan Parkindo. Pada 20 Maret 1960, Liga membuat pernyataan bahwa pembentukan DPR-GR bertentangan dengan azas-azas demokrasi yang dijamin oleh UU.
Nasution dalam bukunya mengatakan, memang atas prakarsanya sendiri ia terpaksa menentang kebijakan Presiden. ”Dengan ini memproseslah konflik terbuka antara beliau dengan saya.” Ketika membentuk DPR-GR, Bung Karno mengangkat para wakil ketuanya orang-orang kedua dalam pimpinan parpol. Mereka statusnya disamakan dengan menteri. Bung Karno juga menambah kekuasaannya (trias politika) dengan menjadikan Ketua Mahkamah Agung sebagai menteri, dan MA menjadi lembaga yang berada dibawah kontrol politiknya.
Perlawanan terhadap dibubarkannya DPR hasil Pemilu waktu itu memang cukup sengit. Pada 22 Juni 1960, Bung Tomo mengadakan pengaduan kepada Mahkamah Agung dengan tuduhan pembubaran DPR hasil Pemilu ‘55 sebagai pelanggaran terhadap UUD 45. Pada 17 Agustus 1960, dua partai yang menjadi kekuatan oposisi, Masyumi dan PSI dibubarkan. Tapi konflik politik hampir tidak pernah henti. Berakhir dengan tragis, terjadinya Gerakan 30 September 1965. (Alwi Shahab/)
Langganan:
Postingan (Atom)